Monday, December 30, 2019

MAKALAH tentang mengenal ijtihat dan fungsinya sebagai sumber pengembangan ilmu


Cover

MENGENAL IJTIHAT DAN FUNGSINYA SEBAGAI SUMBER PENGEMBANGAN ILMU ISLAM




 






KELOMPOK 1
MOH ARFAN EFENDY
DYKA ANGGARA 






PROGARAM STUDI SISTEM INFORMASI FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM MADURA
2019







KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama allah swt yang maha pengasih lagi maha panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang Ijtihat Dan Fungsinya Sebagai Sumber Pengembangan Ilmu Islam,
Makalah  ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang mengenal al-quran dan fungsinya sebagai sumber ilmu ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Pamekasan 4 November 2019


Penyusun




DAFTAR ISI







BAB I PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG

Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah, terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut tentang baik buruknya
Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum Islam (Islamic Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan melaluinya hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum diambil adalah Al-Quran dan As-Sunnah Nabi, yang keduanya memberikan materi hukum. Sedangkan, sumber-sumber yang melaluinya hukum berasal adalah metode-metode ijtihad dan interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus ( Ijma’, kesepakatan).Oleh karena itu, penulis membuat makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari pengambilan keputusan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

1.2   RUMUSAN MASALAH

Dalam makalah ini penulis membahas tentang:
1.    Apa pengertian dari ijtihad ?
2.    Apa kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam  ?
3.    Apa saja manfaat  ijtihad ?
4.    Ada berapa metode ijtihad ?

1.3   TUJUAN

Tujuan penulis membahas kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah:
1.      Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
2.      Membuka wawasan tentang ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ketiga
3.      Mengetahui apa manfaat ijtihad.






BAB II PEMBAHASAN

2.1  PENGERTIAN IJTIHAD

Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang artinya bersungguh-sungguh, rajin, giat sedangkan jika diteliti makna ja-ha-da artinya adalah mencurahkan segala kemampuan Jadi dengan demikian Ijtihad adalah berusaha atau berupaya yang bersungguh-sungguh.
Kemudian di kalangan ulama perkataan ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguhsungguh dari seorang ahli hukum dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syari’at. Menurut Wahbah Azzuhaili Ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari’at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari’at. Imam Al-Gazali yang diikuti oleh Khudhairy mendefinisikan Ijtihad itu sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorangb mujtahid di dalam rangka mengetahui tentang hukum  syari’at. 4 Kata ijtihad (ar-ijtihad) berakar dari kata al-Juhd yang berarti al-taqhah (daya, kemampuan, kekuasaan) atau dari kata al-Jahd yang berarti al masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna “badal al wus” wal mahud” (pengerahan daya kemampuan), atau pengerahan segala daya kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang sukar dan berat.
Dari pengertian kebahasaan terlihat dua unsur pokok dalam ijtihad, daya atau kemampuan 2 objek yang sulit dan berat. Daya dan kemampuan disni dapat diklasifikasikan secara umum, yang meliputi daya, fisik-material, mental-spiritual dan intelektual. Ijtihad sebagai terminology keilmuan dalam Islam juga tidak terlepas dari unsur-unsur tersebut. Akan tetapi karena kegiatan keilmuan lebih banyak bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian ijtihad lebih banyak mengarah pada pengerahan kemampuan intelektual dalam memecahkan berbagai bentuk kesulitan yang dihadapi, baik yang dihadapi individu maupun umat manusia secara menyeluruh. Dalam rumusan definisi ijtihad yang dikemukakan ibnu Hazm berbunyi; “Ijtihad dalam
syariat ialah pencurahan kemampuan dalam mendapatkan hukum suatu kasus dimana hukum itu tidak dapat diperoleh”. Pengeratian Ijtihad secara Etimologi, Ijtihad secara bahasa berasal dari al-jahd, al-Juhd) dan ath-taqat yang artinya kesulitan, kesusahan dan juga berupa sesuatu kesanggupan atau kemampuan (al-masyaqat).
Kata Al-Juhd menunjukkan pekerjaan yang sulit dilakukan (lebih dari pekerjaan biasa). Oleh sebab itu Ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya untuk mendapatkan sesuatu. Sebaliknya usaha yang tidak secara maksimal (tidak menggunakan daya yang keras tidak disebut dengan Ijtihad Ijtihad menueurt istilah adalah suatu aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (isthimbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at.
Dalam pengertian Terminologis, Ijtihad berarti”mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ tentang suatu masalah dari sumber (dalil) hukum yang tafshily (rinci)5Ijtihad diberlakukan dalam berbagai bidang, yakni mencakup akidah, mu’amalah (fiqih), dan falsafat. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah mengenai kedudukan hasil ijtihad. Persoalan tersebut berawal dari pandangan mereka tentang ruang lingkup qath’i tidaknya suatu dalil. Ulama ushul memandang dalil-dalil yang berkaitan dengan akidah termasuk dalil qath’i, sehingga dibidang ini tidak dilakukan ijtihad. Mereka mengatakan bahwa kebenaran mujtahid di bidang ilmu kalam hanya satu. Sebaliknya, golongan mutakalimin memandang bahwa di bidang ilmu kalam itu terdapat hal-hal yang zhaniyat, karena ayat-ayat
Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar; kalaupun melakukan kekeliruan, ia tetap mendapatkan pahala. Namun, pendapat tersebut ditolak oleh ulama ushul. Sekalipun samasama menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, namun kebenaran disini terbatas dalam bidang fiqih. Menurut Harun Nasution, arti ijtihad seperti yang telah dikemukakan di atas adalah ijtihad dalam arti sempit. Dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku pada bidang politik, akidah, tasawuf, dan falsafah

2.2   IJTIHAD DALAM HAL ILMU PENGETAHUAN

Menurut Hasan Langgulung, ada lima sumber nilai yang diakui dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi, itulah yang asal. Sumber ketiga yaitu qiyas, artinya membandingkan masalah yang disebutkan al-Qur’an dan Sunah dengan masalah yang dihadapi oleh umat Islam pada masa tertentu, tetapi nash yang tegas tidak ada dalam al-Qur’an, di sini digunakan qiyas. Kemudian sumber keempat adalah kemaslahatan umum pada suatu ketika yang dipikirkan patut menurut pandangan Islam. Sedang sumber yang kelima adalah kesepakatan atau ijma’ ulama dan ahli fikir Islam pada suatu ketika yang dianggap sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah.
Pendidikan Islam merujuk pada tiga sumber, yakni al-Qur'an, hadits, dan ijtihad. Ijtihad adalah usaha yang dilakukan oleh para ulama (mujtahid) untuk menetapkan/menentukan sesuatu hukum syari’at Islam terhadap hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah. Hal ini sejalan dengan pendapat Zakiah Daradjat bahwa “landasan pendidikan Islam itu terdiri dari al-Qur’an dan sunnah Nabi yang dapat dikembangkan dengan ijtihad.
Ijtihad dalam hal ini dapat meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan. Namun demikian, ijtihad harus mengikuti kaidah-kaidah yang diatur oleh para mujtahid, tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari al-Qur’an dan sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori baru dari hasil pendidikan harus dikaitkan dengan ajaran Islam yang sesuai dengan kebutuhan hidup.
Ijtihad di bidang pendidikan semakin dibutuhkan, sebab ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah hanya sebatas pokok-pokok dan prinsip-prinsip. Bila diperinci, maka perincian itu sekedar contoh dalam menerapkan yang prinsip itu karena sejak diturunkan sampai Nabi Muhammad saw. wafat, ajaran Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang seirama dengan tuntutan perkembangan jaman.
Dalam hal ini pemikiran para filsafat, pemimpin dan intelektual muslim yang berijtihad dalam bidang pendidikan menjadi referensi (sumber) pengembangan pendidikan Islam. Hasil pemikiran itu baik dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, fikih Islam, sosial budaya, pendidikan dan sebagainya menyatu sehingga membentuk suatu pemikiran dan konsepsi komprehensif yang saling menunjang khususnya bagi pendidikan Islam. Dalam usaha modernisasi pendidikan Islam, pemikiran kalangan intelektual pembaharu yang dapat dijadikan referensi bagi pengembangan pendidikan Islam.
Pergantian dan perbedaan zaman terutama karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang bermuara kepada perubahan kehidupan sosial, telah menuntut ijtihad dalam bentuk penelitian dan pengkajian kembali prinsip-prinsip ajaran Islam, apakah ia boleh ditafsirkan dengan yang lebih relevan dengan lingkungan dan kehidupan sosial yang tidak boleh diubah, maka lingkungan dan kehidupan sosial yang perlu diciptakan sehingga sesuai dengan prinsip tersebut. sebaliknya, jika ditafsir, maka ajaran-ajaran itulah yang menjadi kehidupan muslim. Zaman sekarang sudah berbeda dengan zaman ketika ajaran Islam pertama kali diterapkan. Di samping itu diyakini pula bahwa ajaran Islam berlaku di segala zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan), di segala situasi dan kondisi lingkungan sosial. Kenyataan yang dihadirkan oleh perubahan zaman dan perkembangan IPTEK menyebabkan kebutuhan manusia semakin meningkat.
Sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial, manusia tentu saja mempunyai kebutuhan individu dan kebutuhan sosial menurut tingkatannya. Dalam kehidupan bersama mereka mempunyai kebutuhan bersama untuk kelanjutan hidup kelompoknya. Kehidupan itu meliputi berbagai aspek kehidupan individu dan sosial. Seperti sistem politik, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan, yang tersebut terakhir adalah kebutuan yang terpenting karena ia menyangkut pembinaan generasi mendatang dalam rangka memenuhi kebutuhan yang tersebut sebelumnya.
Sistem pembinaan di satu pihak dituntut agar senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu dan teknologi yang berkembang pesat. Di pihak lain dituntut agar tetap bertahan dalam hal sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini merupakan tugas dan tanggung jawab bagi para mujtahid di bidang pendidikan untuk selalu berijtihad sehingga teori pendidikan Islam senantiasa relevan dengan tuntutan zaman dan perubahan.

2.3   LANDASAN HUKUM IJTIHAD

ijtihad sebagai upaya untuk menemukan hukum tentang sesuatu masalah yang belum disebutkan secara khusus dalam nash, merupakan kegiatan yang dibenarkan, bahkan dianjurkan oleh Allah swt, sebagai Pencipta dibenarkan, bahkan dianjurkan oleh Allah swt, sebagai Pencipta Syari’at dan oleh Rasul-Nya. Pembenaran dan anjuran ijtihad ini didasarkan atas petunjuk-petunjuk yang dapat dibaca dalam AlQuran dan Sunnah Rasulnya. Dasar Hukum Ijtihad diantaranya adalah :
1.      Terdapat dalam AlQuran Surat An-Nisaak ayat 105 yang artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu AlKitab dengan benar, agar kamu menetapkan di anataranya manusia dengan jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah kepadamu”.
2.      Selanjutnya dalam Surat An-Nisak ayat 59 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”.
3.      Surat An-Nisak ayat: 83 yang artinya: “.... Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengathui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka”.
4.      Dalam Hadis di mana Nabi bersabda ketika Muaz Ibnu Jabbal diutus ke Yaman yang artinya: “ Rasullullah bertanya “ Dengan apa kamu menghukum?” ia menjawab dengan apa yang ada dalam AlQuran, rasul bertanya lagi, Jika kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?, Dia menjawab, Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan oleh Rasulullan” Rasul bertanya lagi, Jikatidak mendapat dalam ketetapan Rasulullah? Berkata Muaz.” Aku Berijtihad dengan pendapatku. Rasulullah bersabda, Aku Bersyukur Kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari RasulNya”. (HR Abu daud dan al-Tirmidzi)
5.      Dalam hadis lain Nabi bersabda dalam Hadisnya yang diriwayatkan oleh Umar yang artinya: “ Apabila hakim memutuskan hukum dan ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia akan mendapat dua pahala daan jika ijtihadnya keliru maka ia mendapat satu pahala”. (HR Buhkari dan Muslim)
6.      Dalam Hadis lain yang artinya: “Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap hal yang salah” (HR al-Tirmidzi)

2.4   METODE IJTIHAD

Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukan sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Diantara metode atau cara berijtihad adalah:
a)      Ijma' , adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat disuatu masa.
b)      Qiyas, adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya didalam Al-Qur'an dan As-Sunah dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasul karena persamaan illat-Nya.
Contoh : Larangan meniru khamr yang terdapat dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 90. Yng menyebabkan minuman itu dilarang adalah illat-Nya yakni memabukkan. Sebab minuman yang memabukkan, dari apapun ia dibuat, hukumnya sama dengan khamr yaitu dilarang untuk diminum. Dan untuk menghindari akibat buruk meminum minuman yang memabukkan itu, mak dengan qiyas pula ditetapkan semua minuman yang memabukkan, apapun namanya, dilarang diminum dan dijual belikan untuk umum.
c)      Istidlal, adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan.
Contoh: Menarik kesimpulan dari adat-istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum islam.
d)     Masalin Al-Mursalah, adalah cara menemukan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik didalam Al-Qur'an maupun dalam kitab-kitab hadist, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
Contoh: Pembenaran pemungutan pajak  itu masih tetap berlaku selama belum ada bukti dan saksi yang menyatakan bahwa perjalanan utang piutang telah berakhir.

e)       Istishan, adalah cara menentukan hukum dengan cara menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Atau suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut suatu keadaan.
Contoh: pencabutan hak milik seseorang atas tanah untuk pelebaran jalan.
f)        Istisab , adalah menetapkan hukum suatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya.
Contoh: Ria mengadakan perjanjian utang piutang dengan nanda, menurut ria telah dibayar , tanpa menunjukkan bukti atau saksi dalam kasus ini berdasarkan istisab dapat ditetapkan bahwa ria masih belum membayar utangnya dan perjanjian ini masih berlaku selama masih belum ada bukti dan saksi yang menyatakan bahwa perjanjian utang piutang tersebut telah berakhir.
g)      Urf  atau adat istiadat adalah yang tidak bertentangan dengan hukum islam dapat dikukuhkan tetap harus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Contoh: melamar wanita dengan memberikan suatu tanda (pengikat) , pembayaran mahar secara tunai atau utang atas persetujuan kedua belah pihak dan lain-lain.

2.5   MANFAAT IJTIHAD

Adapun beberapa manfaat Ijtihad adalah sebagai berikut ini:
a)      Ketika umat Islam menghadapi masalah baru, maka akan diketahui hukumnya.
b)      Menyesuaikan hukum yang berlaku dalam Islam sesuai dengan keadaan, waktu, dan perkembangan zaman.
c)      Menentukan dan menetapkan fatwa atas segala permasalahan yang tidak berhubungan dengan halal-haram.
d)     Menolong umat Islam dalam menghadapi masalah yang belum ada hukumnya dalam Islam.








BAB III PENUTUP

3.1  KESIMPULAN

Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan  segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits. Hasil ijtihad antara lain adalah: qiyas, ijma’, istihsan, mashalihul mursalah, urf, istishab, dan sududz dzariah.

3,2 SARAN

Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih mendalam untuk pembaca makalah terhadap hukum-hukum Islam.



DAFTAR ISI

Ballaq, B. Wael. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

No comments:

Post a Comment